PENGARUH
PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERHADAP KEMAMPUAN
BERPIKIR KRITIS
Alias Masek dan Sulaiman Yamin
(Sesuai penulis)
Fakultas Pendidikan Teknik dan Kejuruan, Universiti Tun Hussein Onn Malaysia
86400 Batu Pahat, Johor,Malaysia
e-mail: aliasmasek@gmail.com
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) adalah
pendekatan pembelajaran memotivasi, menantang, dan menyenangkan (Norman dan
Schmidt, 2000) yang telah dihasilkan dari proses kerja menuju pemahaman atau
menyelesaikan masalah (Barrows dan Tamblyn, 1980). Umumnya mengajarkan kemampuan berpikir kritis merupakan hal yang penting bagi seorang
individu peserta
didik (Norris, 1985). Menurut penulis mengajar
berpikir kritis adalah tentang mengajar siswa untuk tepat menggunakan konsep,
prinsip, dan prosedur, sehingga mereka mampu menghasilkan penilaian kritis
(Bailin dkk., 1999). Selain itu, berpikir kritis memiliki implikasi penting
untuk mentransfer
pengetahuan dan penerapan keterampilan pemecahan untuk situasi masalah baru
(Garcia dan Pintrich, 1992). Dalam kapasitas ini, beberapa keuntungan untuk belajar dengan PBL yaitu untuk meningkatkan kemampuan berpikir
kritis.
1. Proses Pembelajaran Berbasis Masalah
PBL terdiri dalam beberapa langkah utama, seperti dalam "Tujuh-lompat" model (Maastricht Model PBL). Langkah-langkah dapat diringkas menjadi tiga tahap utama yaitu: tahap awal, tahap PBL, dan tahap akhir (Masek dan Yamin, 2010). Pada tahap pertama, kegiatan pertama melibatkan pembentukan kelompok, baik secara administratif maupun secara acak menugaskan siswa ke dalam kelompok kecil selama sesi pertemuan pertama. Kelompok ini kemudian diberikan masalah PBL dan mereka mulai menganalisis dan memahami masalah (Hmelo-Silver, 2004) dan ini lebih banyak dilakukan dengan mendefinisikan "apa yang mereka ketahui", "apa yang mereka tidak tahu" dan selanjutnya "apa yang mereka perlu tahu".
PBL terdiri dalam beberapa langkah utama, seperti dalam "Tujuh-lompat" model (Maastricht Model PBL). Langkah-langkah dapat diringkas menjadi tiga tahap utama yaitu: tahap awal, tahap PBL, dan tahap akhir (Masek dan Yamin, 2010). Pada tahap pertama, kegiatan pertama melibatkan pembentukan kelompok, baik secara administratif maupun secara acak menugaskan siswa ke dalam kelompok kecil selama sesi pertemuan pertama. Kelompok ini kemudian diberikan masalah PBL dan mereka mulai menganalisis dan memahami masalah (Hmelo-Silver, 2004) dan ini lebih banyak dilakukan dengan mendefinisikan "apa yang mereka ketahui", "apa yang mereka tidak tahu" dan selanjutnya "apa yang mereka perlu tahu".
Dalam hal ini,
guru bertindak sebagai fasilitator pembelajaran pemandu siswa 'melalui siklus proses PBL
(Hmelo-Silver, 2004). Tahap PBL
dimulai dengan siswa melakukan studi-mandiri, (Schmidt, 1993). Siswa diharapkan
untuk menguasai pengetahuan yang relevan dengan masalah yang akan dipecahkan.
Kemudian, siswa melakukan sebuah diskusi kelompok dan sesi diskusi (Wee, 2004).
Mereka saling bertukar dan berbagi informasi (Schmidt, 1993; Wee, 2004)
Sementara itu, fasilitator memantau kemajuan kelompok melalui pengamatan
langsung dan penilaian formatif (O'Grady dan Alwis, 2002).
Pada tahap akhir, siswa mempersiapkan untuk proyek persentsi dan penilaian selama sesi pertemuan terakhir. Siswa sebagian mempresentasikan proposal mereka solusi. Fasilitator mengevaluasi karya siswa berdasarkan kelompok baik atau presentasi individu (Kolmos dan Holgaard, 2007). Dalam beberapa kasus, penilaian sejawat digunakan untuk memodifikasi tanda kelompok, yang mengarah ke penghargaan siswa dengan nilai individu (Kolmos et al, 2007.). Metode lain penilaian juga digunakan dalam memantau kemajuan siswa dalam belajar (Barrows dan Tamblyn, 1980).
2. Perspektif Teoritis : PBL dan Berpikir Kritis
Berpikir kritis adalah bagian dalam keterampilan berpikir tingkat tinggi, bersama dengan berpikir kreatif, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan (Facione, 1990). Kritis dan berpikir kreatif saling terhubung satu sama lain, dalam menghasilkan pemikiran yang efektif dan pemecahan (Treffinger et al., 2006) masalah. Bukti menunjukkan bahwa keterampilan kognitif yang kompleks dapat diajarkan secara sistematis (Jianzeng et al., 1997). Untuk itu, mengajarkan agar kemampuan kognitif yang lebih tinggi seperti berpikir kritis selalu menjadi tujuan utama pendidikan (Spendlove, 2008).
PBL sering berteori untuk mempromosikan siswa memiliki kemampuan berpikir lebih tinggi agar, terutama keterampilan penalaran (Savery 2006). PBL dibawakan oleh Siswa Centered Learning yang diikuti pendekatan konstruktivis belajar prinsip-prinsip teori (Hmelo-Silver, 2004). Dalam konteks ini, akuisisi pengetahuan menjadi salah satu prasyarat dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa (Hmelo-Silver, 2004;. Winterton et al, 2005). Menurut Ennis et al. (2005), menunjukkan pemikiran kritika itu sebagai pemikiran yang masuk akal dan reflektif yang berfokus pada memutuskan apa yang harus diyakini dan dilakukannya. Beberapa penulis menjelaskan bahwa berpikir kritis adalah
proses seseorang diajarkan untuk alasan dalam meningkatkan solusi (Paul dan Elder, 2003). Dengan demikian, proses analisis penalaran harus tiba di logis, rasional, dan masuk akal penilaian, dalam kerangka tertentu, dan harus setuju dengan prinsip-prinsip tertentu pemikiran (Ennis, 1984), seperti yang diusulkan oleh Facione (2006):
(i) Analisis = mengidentifikasi dan memeriksa ide-ide dan argumen.
(ii) Inference = menarik kesimpulan.
(iii)Interpretasi = memperjelas makna melalui kategorisasi dan penerjemahan.
(iv) Self-regulasi = self-assessment dan refleksi.
(v) Penjelasan = membenarkan hasil, argumen atau prosedur.
(vi) Evaluasi = menilai argumen.
Selain itu, menurut Ennis (1984), adalah penting untuk memeriksa struktur penalaran, karena struktur mewakili makna umum kemampuan penalaran, berdasarkan apa yang percaya individu. Berdasarkan definisi konseptual di atas, kemampuan berpikir kritis mungkin dihasilkan oleh PBL, melalui proses pemecahan masalah, khususnya dalam kelompok sesi brainstorming (O'Grady dan Alwis, 2002; Wee, 2004). Selama sesi ini, siswa kritis mempertimbangkan satu solusi terbaik untuk masalah yang dihadapi. Proses ini dimediasi oleh fasilitator, yang bertanggung jawab untuk menyelidiki pemikiran meta-kognitif mereka, dalam membuat keputusan (Wee, 2004).
Selain itu, proses lain, seperti diskusi,
berdebat, berbagi, dan mengajar satu sama lain, menciptakan sebuah platform
bagi siswa untuk mengalami lingkungan yang kondusif untuk berpikir kritis untuk
tumbuh (Schmidt, 1993; Wee, 2004). Dalam kapasitas ini, dasar yang kuat ada
yang mendukung kontribusi PBL untuk keterampilan berfikir tingkat tinggi
siswa, kemampuan berpikir kritis khususnya.Pada tahap akhir, siswa mempersiapkan untuk proyek persentsi dan penilaian selama sesi pertemuan terakhir. Siswa sebagian mempresentasikan proposal mereka solusi. Fasilitator mengevaluasi karya siswa berdasarkan kelompok baik atau presentasi individu (Kolmos dan Holgaard, 2007). Dalam beberapa kasus, penilaian sejawat digunakan untuk memodifikasi tanda kelompok, yang mengarah ke penghargaan siswa dengan nilai individu (Kolmos et al, 2007.). Metode lain penilaian juga digunakan dalam memantau kemajuan siswa dalam belajar (Barrows dan Tamblyn, 1980).
2. Perspektif Teoritis : PBL dan Berpikir Kritis
Berpikir kritis adalah bagian dalam keterampilan berpikir tingkat tinggi, bersama dengan berpikir kreatif, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan (Facione, 1990). Kritis dan berpikir kreatif saling terhubung satu sama lain, dalam menghasilkan pemikiran yang efektif dan pemecahan (Treffinger et al., 2006) masalah. Bukti menunjukkan bahwa keterampilan kognitif yang kompleks dapat diajarkan secara sistematis (Jianzeng et al., 1997). Untuk itu, mengajarkan agar kemampuan kognitif yang lebih tinggi seperti berpikir kritis selalu menjadi tujuan utama pendidikan (Spendlove, 2008).
PBL sering berteori untuk mempromosikan siswa memiliki kemampuan berpikir lebih tinggi agar, terutama keterampilan penalaran (Savery 2006). PBL dibawakan oleh Siswa Centered Learning yang diikuti pendekatan konstruktivis belajar prinsip-prinsip teori (Hmelo-Silver, 2004). Dalam konteks ini, akuisisi pengetahuan menjadi salah satu prasyarat dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa (Hmelo-Silver, 2004;. Winterton et al, 2005). Menurut Ennis et al. (2005), menunjukkan pemikiran kritika itu sebagai pemikiran yang masuk akal dan reflektif yang berfokus pada memutuskan apa yang harus diyakini dan dilakukannya. Beberapa penulis menjelaskan bahwa berpikir kritis adalah
proses seseorang diajarkan untuk alasan dalam meningkatkan solusi (Paul dan Elder, 2003). Dengan demikian, proses analisis penalaran harus tiba di logis, rasional, dan masuk akal penilaian, dalam kerangka tertentu, dan harus setuju dengan prinsip-prinsip tertentu pemikiran (Ennis, 1984), seperti yang diusulkan oleh Facione (2006):
(i) Analisis = mengidentifikasi dan memeriksa ide-ide dan argumen.
(ii) Inference = menarik kesimpulan.
(iii)Interpretasi = memperjelas makna melalui kategorisasi dan penerjemahan.
(iv) Self-regulasi = self-assessment dan refleksi.
(v) Penjelasan = membenarkan hasil, argumen atau prosedur.
(vi) Evaluasi = menilai argumen.
Selain itu, menurut Ennis (1984), adalah penting untuk memeriksa struktur penalaran, karena struktur mewakili makna umum kemampuan penalaran, berdasarkan apa yang percaya individu. Berdasarkan definisi konseptual di atas, kemampuan berpikir kritis mungkin dihasilkan oleh PBL, melalui proses pemecahan masalah, khususnya dalam kelompok sesi brainstorming (O'Grady dan Alwis, 2002; Wee, 2004). Selama sesi ini, siswa kritis mempertimbangkan satu solusi terbaik untuk masalah yang dihadapi. Proses ini dimediasi oleh fasilitator, yang bertanggung jawab untuk menyelidiki pemikiran meta-kognitif mereka, dalam membuat keputusan (Wee, 2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar