BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan di lembaga sekolah tidak bisa berjalan jika hanya ada siswa, guru, bangunan dan fasilitas sekolah. Proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik jika materi belajar telah disepakati. Materi belajar tersebut tidak hanya berupa rangkaian kalimat yang menerangkan cakupan konten pembelajaran, tetapi juga memuat berapa lama harus diajarkan, tujuan pengajaran, dan bagaimana mengajarkannya. Inilah yang sering disebut sebagai kurikulum. Tetapi kurikulum tidaklah sesederhana itu.
Pendidikan di lembaga sekolah tidak bisa berjalan jika hanya ada siswa, guru, bangunan dan fasilitas sekolah. Proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik jika materi belajar telah disepakati. Materi belajar tersebut tidak hanya berupa rangkaian kalimat yang menerangkan cakupan konten pembelajaran, tetapi juga memuat berapa lama harus diajarkan, tujuan pengajaran, dan bagaimana mengajarkannya. Inilah yang sering disebut sebagai kurikulum. Tetapi kurikulum tidaklah sesederhana itu.
Pada sistem pendidikan tradisional,
kurikulum disusun oleh lembaga pendidikan bersangkutan, namun dengan
dijadikannya pendidikan sebagai bagian yang harus dikelola oleh negara, dan
lembaga sekolah mulai diformalkan, maka otomatis penyusunan kurikulum pun
menjadi tanggung-jawab pemerintah.Pembuatan kurikulum oleh pemerintah
memungkinkan keseragaman lembaga pendidikan di seluruh negeri.Tetapi apa yang
disusun oleh pemerintah hanyalah sebuah standar atau pembakuan yang selanjutnya
merupakan acuan/pedoman dalam penyusunan kurikulum khas sekolah yang menjadi
tanggung jawab kepala sekolah dan aparatnya.
Jepang sekalipun telah menstandarkan semua fasilitas pendidikannya dan sekaligus telah menerapkan standar kualifikasi minimal untuk para gurunya, sehingga pelaksanaan kurikulum di setiap lembaga sekolah boleh dikatakan seragam, tetap saja tidak bisa menjamin hasil pendidikan dengan mutu seragam. Pembaharuan kurikulum adalah hal yang mutlak terjadi, sebab pendidikan juga berjalan mengikuti zaman dan perubahan. Sama halnya dengan Indonesia kurikulum pun telah mengalami perubahan beberapa kali di Jepang. Perubahan tersebut mau tidak mau membawa dampak perubahan permintaan kualifikasi dan kompetensi pendidik di Jepang.
Jepang sekalipun telah menstandarkan semua fasilitas pendidikannya dan sekaligus telah menerapkan standar kualifikasi minimal untuk para gurunya, sehingga pelaksanaan kurikulum di setiap lembaga sekolah boleh dikatakan seragam, tetap saja tidak bisa menjamin hasil pendidikan dengan mutu seragam. Pembaharuan kurikulum adalah hal yang mutlak terjadi, sebab pendidikan juga berjalan mengikuti zaman dan perubahan. Sama halnya dengan Indonesia kurikulum pun telah mengalami perubahan beberapa kali di Jepang. Perubahan tersebut mau tidak mau membawa dampak perubahan permintaan kualifikasi dan kompetensi pendidik di Jepang.
Ada tiga tugas utama guru/pendidik
di Jepang yaitu gakushū shidōu (membimbing pembelajaran), seito shidō
(membimbing siswa), dan kōmubunshō (tugas administrasi/managerial sekolah).
Agar pengejewantahan ketiga tugas/fungsi guru tersebut dapat berjalan dengan
baik, maka perlu disusun perencanaan. Perencanaan itulah yang
disebut kyouiku katei (rencana kurikulum) di Jepang.
Kurikulum
pendidikan pasti memiliki tujuan begitu juga dengan kurikulum pendidikan
matematika di Jepang. Tujuan kurikuler dari negara tersebut dalam pendidikan
matematika dasar hampir sama. Jepang berusaha untuk memberikan para siswa
dengan berbagai dan beragam pengalaman yang akan meningkatkan kemampuan
mereka untuk berpikir secara logis dan kreatif menggunakan masalah
matematika yang didasarkan pada situasi kehidupan nyata.
Pembelajaran matematika di Jepang lebih banyak menggunakan pendekatan open ended dan pemecahan
masalah. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah
perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat model matematika,
menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya. Pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang
sesuai dengan situasi (contextual problem).
1.2.
Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan
masalah dalam tulisan ini adalah:
1.
Bagaimana kurikulum pendidikan di Jepang ?
2.
Bagaimana perkembangan kurikulum pendidikan matematika
di Jepang?
3.
Bagaimana pembelajaran matematika di Jepang ?
1.3.
Tujuan Masalah
Yang
menjadi tujuan dari tulisan ini adalah:
1. Untuk
mengetahui kurikulum pendidikan di Jepang.
2. Untuk mengetahui perkembangan kurikulum
pendidikan matematika di Jepang.
3. Untuk
mengetahui pembelajaran matematika di Jepang
1.4.
Manfaat Penulisan
Adapun
manfaat dari penulisan makalah ini yaitu dapat menambah kajian ilmiah
bagi pembaca dalam kajian perkembangan kurikulum dan pembelajaran
matematika di Jepang serta secara khusus menambah bahan refrensi bagi mahasiswa
yang ingin mempelajari arah dan isu kecenderungan pendidikan matematika.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kurikulum Pendidikan di Jepang
Tingkatan pendidikan di Jepang sama
dengan di Indonesia yaitu dengan menggunakan sistem 6-3-3 (6 tahun SD, 3 tahun
SMP, tiga tahun SMA) dan Perguruan Tinggi. Pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah
Menengah Pertama digolongkan sebagai Compulsory Education dan Sekolah
Menengah Atas digolongkan sebagai Educational Board.
Compulsory
Education di Jepang dilaksanakan dengan prinsip memberikan akses penuh kepada
semua anak untuk mengenyam pendidikan selama 9 tahun (SD dan SMP) dengan
menggratiskan tuition fee, dan mewajibkan orang tua untuk menyekolahkan
anak (ditetapkan dalam Fundamental Law of Education). Untuk memudahkan
akses, maka di setiap distrik didirikan SD dan SMP walaupun daerah kampung dan
siswanya minim (per kelas 10-11 siswa). Orang tua pun tidak boleh menyekolahkan
anak ke distrik yang lain, jadi selama masa compulsory education, anak
bersekolah di distrik masing-masing. Mutu sekolah negeri di semua distrik sama,
sebab Ministry of Education menkondisikan equality di semua sekolah.Sedangkan untuk SMA, siswa dibebaskan untuk memilih sekolah
di distrik lain.
Di Jepang
Pendidikan dasar tidak mengenal ujian kenaikan kelas, tetapi siswa yang telah
menyelesaikan proses belajar di kelas satu secara otomatis akan naik ke kelas
dua, demikian seterusnya. Ujian akhir juga tidak ada, karena SD dan SMP masih
termasuk kelompok compulsory education, sehingga siswa yang telah menyelesaikan
studinya di tingkat SD dapat langsung mendaftar ke SMP. Selanjutnya siswa
lulusan SMP dapat memilih SMA yang diminatinya, tetapi kali ini mereka harus
mengikuti ujian masuk SMA yang bersifat standar, artinya soal ujian dibuat oleh
Educational Board. Ujian masuk hampir serentak di seluruh Jepang dengan bidang
studi yang sama yaitu, Bahasa Jepang, English, Math, Social Studies, dan
Science. Sama halnya dengan Indonesia, SMA dibagi menjadi SMA umum dan SMK.
Ujian masuk PT dilakukan dua tahap. Pertama secara nasional soal ujian disusun
oleh Ministry of education, terdiri dari lima subject, sama seperti ujian masuk
SMA, selanjutnya siswa harus mengikuti ujian masuk yang dilakukan masing-masing
universitas, tepatnya ujian masuk di setiap fakultas.
Panduan
tentang muatan pembelajaran di sekolah Jepang termuat dalam gakusyuushidouyouryo
(学習指導要領). Dokumen ini berisikan keterangan lengkap tentang tujuan
pembelajaran di sekolah, materi pelajaran, pendidikan moral dan kegiatan khusus
terkait dengan sekolah. Gakusyuushidouyouryou dapat dikatakan sebagai
standar minimum yang harus dicapai oleh sekolah-sekolah negeri (国立学校), sekolah
publik (公立学校), dan sekolah swasta (私立学校).
Gakusyuushidouyouryou pertama kali dikeluarkan pada tahun
1947, bertepatan dengan lahirnya UU Pendidikan di Jepang.
Pembaharuan
kurikulum di Jepang berlangsung setiap 10 tahun sekali, dan kurikulum terbaru yang
diterbitkan di tahun 1998 adalah pembaharuan ketujuh sejak kurikulum yang
diterapkan pada Perang Dunia II. Di Jepang kurikulum disusun oleh sebuah komite
khusus dibawah kontrol Kementerian Pendidikan (MEXT). Komisi Kurikulum terdiri
dari wakil dari Teacher Union, praktisi dan pakar pendidikan, wakil dari
kalangan industri, dan wakil MEXT.
Jepang
merupakan negara yang pendidikannya maju. Sistem pendidikan Jepang memberi
kesempatan kepada siswa tamatan sekolah menengah atas untuk mendapat pendidikan
lebih lanjut yang bermacam-macam. Selain itu masih banyak ciri-ciri pendidikan
Jepang, diantaranya:
1. Perhatian
pada pendidikan datang dari bermacam-macam pihak
2. Sekolah
Jepang tidak Mahal
3. Di
Jepang Tidak Ada Diskriminasi Terhadap Sekolah
4. Kurikulum
sekolah Jepang sangat berat
5. Sekolah
sebagai unit pendidikan
6. Guru
terjamin tidak akan kehilangan jabatan
7. Guru
jepang penuh dedikasi
8. Guru
jepang merasa wajib memberi pendidikan “orang seutuhnya”
9. Guru
Jepang bersikap adil.
2.2. Kurikulum Pendidikan Matematika di Jepang
Pendidikan
matematika di Jepang memiliki kurikulum. Tujuan kurikuler dalam pendidikan
matematika yaitu untuk memberikan para siswa dengan berbagai dan beragam
pengalaman yang akan meningkatkan kemampuan mereka untuk berpikir
secara logis dan kreatif. Waktu belajar mengajar matematika di Jepang lebih
sedikit jika dibandingkan dengan di Indonesia. Buku pelajaran matematika di
Jepang menggunakan gambar asli tempat, benda dan hal-hal lain yang memiliki
relativitas dengan isi atau pelajaran yang disajikan dalam buku.
Kurikulum matematika di Jepang tidak sepadat
yang ada di Indonesia. Kurikulum matematika dasar Jepang memiliki tujuan
belajar lebih sedikit daripada Indonesia. Sehingga sebagian besar siswa Jepang
memiliki cukup waktu untuk menyerap dan memahami setiap pelajaran. Mereka
bahkan memiliki waktu yang cukup untuk melakukan kegiatan karya tangan dan kegiatan
menyenangkan lainnya tapi merangsang dalam belajar matematika. Siswa Jepang
belajar untuk menikmati matematika dan memiliki kemampuan untuk menghubungkan
pelajaran mereka dalam situasi kehidupan nyata.
Pada kurikulum 1971 adalah kurikulum yang sangat
sarat materi sementara sekolah-sekolah di Jepang belum memadai baik dari segi
fasilitas maupun kemampuan guru-gurunya. Sehingga kurikulum tersebut terlalu
memberatkan dan kurang berhasil. Oleh karena itu muncullah ide untuk memberikan
pendidikan yang lebih mementingkan keleluasaan waktu dan ruang. Itulah yang
disebut yutorikyouiku. Jumlah jam pelajaran SD per tahun berkurang
sebanyak 36 jam, dan SMP sebanyak 385 jam.
Indikator
pemerintah untuk mengukur keberhasilan pendidikan di Jepang adalah pengukuran
internasional yang diselenggarakan negara-negara OECD, yaitu PISA dan TIMMS,
sebab Jepang tidak menerapkan sistem ujian nasional. Pada tahun 1995, prestasi
siswa SD dan SMP Jepang menempati urutan pertama, namun tahun-tahun
selanjutnya mengalami penurunan. Dalam rangka pelaksanaan yutorikyouiku,
pemerintah juga menerapkan 5 hari sekolah, yaitu dari hari Senin sampai Jumat.
Tujuan kebijakan ini adalah agar siswa dapat lebih banyak menghabiskan waktunya
dengan keluarga dan belajar lebih banyak di lingkungannya pada akhir pekan.
Dengan
hasil PISA yang mengecewakan, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan untuk
melaksanakan kembali gakuryoku tesuto (tes kemampuan akademik)
tahun 2007, yang pernah dilaksanakan pada tahun 1960. Karakteristik
kurikulum Jepang yang lainnya adalah ide ikiru chikara dan sōgōtekina
gakushū jikan. Konsep ikiru chikara adalah konsep yang
hendak membudayakan jiwa dan melatih kekuatan dan kemampuan untuk hidup di
tengah masyarakat.
Kerangka kurikulum Jepang untuk
bidang matematika tidak ditargetkan untuk menguasai luasnya cakupan, tetapi
justru menargetkan kedalaman proses pembelajarannya (Schmidt, McKnight, &
Raizen, 1996, dlm Darling-Hammond, 1997). Untuk tahun pertama tingkat SMP
(lower secondary school), kurikulum menargetkan empat sasaran dasar:
a. memperdalam pemahaman siswa mengenai integral
b. memahami arti persamaan (equations)
c. memahami fungsi hubungan (relationships)
d. memperdalam pemahaman siswa tentang ciri-ciri ruang (properties of space figures)
b. memahami arti persamaan (equations)
c. memahami fungsi hubungan (relationships)
d. memperdalam pemahaman siswa tentang ciri-ciri ruang (properties of space figures)
Tujuan pembelajaran ini
diterjemahkan ke dalam tiga topik utama yang diajarkan. Terkait dengan target
ini, para guru disarankan untuk menekankan pemahaman akan arti atau makna
dasarnya, dan tidak semata-mata untuk melatih hitung-hitungan belaka. Dengan
demikian, penekanannya adalah dalam mengembangkan pemahaman daripada sekedar
menerapkan rumus-rumus algoritma atau mengukur kecepatan dalam memecahkan soal
atau topik.
2.2. Pembelajaran Matematika di
Jepang
Pengajaran matematika di
Jepang relatif berbeda. Kelas dimulai dengan pengantar singkat, kemudian guru
menyajikan satu soal yang cukup sulit dan tidak mengajarkan siswa cara
memecahkan soal tersebut. Para siswa lalu mengerjakan sendiri soal tersebut,
baik mandiri maupun berkelompok, sambil diawasi oleh guru yang berkeliling
untuk melihat berkembangan dan memberikan saran-saran. Setelah sepuluh atau 15
menit, salah seorang siswa diminta untuk mempresentasikan apa yang diperolehnya
di depan kelas, dengan masukan dari guru jika siswa tersebut mengalami hambatan.
Matematika jepang memberikan kebebasan pola pikir dalam
menyelesaikan masalah kepada anak. Kesalahan yang terjadi pada anak dibiarkan
dan dijadikan proses alamiah dalam menemukan pola pikir itu. Guru memberikan
sebuah permasalahan untuk dipecahkan anak sesuai dengan pola pikirnya.
Dalam sebuah kelas di Jepang,
anak-anak bisa jadi menghabiskan seluruh waktu pembelajaran di kelas untuk
mendemonstrasikan dan mendiskusikan beragam solusi yang mereka identifikasi
terhadap suatu persoalan. Dengan melihat pada suatu persoalan dari berbagai
perspektif, dan menilai proses berpikir dalam diri mereka sendiri, serta
mengoreksi miskonsepsi yang telah mereka buat, mereka belajar berpikir secara
lentur atau fleksibel. Bukannya belajar dengan semata-mata menerapkan
serangkaian aturan yang tidak sepenuhnya mereka pahami, atau memecahkan
sejumlah besar persoalan yang sama dengan rumus algoritma yang sama, para siswa
belajar untuk sampai pada pemahaman akan beragam strategi untuk memecahkan
persoalan. Tidak mengherankan bahwa akhirnya mereka pun mampu menerapkan apa
yang telah mereka pelajari tersebut dalam situas-situasi baru yang mereka
hadapi.
Pembelajaran matematika, terutama di
SD dan SMP di Jepang juga sangat menarik, guru-guru selalu menyiapkan bahan
belajar yang sangat sederhana, misalnya kertas, gunting, jepitan pakaian, atau
bahan lain yg gampang sekali ditemukan. Alat peraga digunakan
untuk membantu membentuk pola pikir anak.
Misalnya seorang guru di SD
affiliation Tsukuba University mengajar anak kelas 5 SD bilangan berderet
dengan bahan kertas dan gunting. Dengan prinsip `melipat dan menggunting`
anak-anak belajar bilangan berderet secara menyenangkan.
Yang menarik guru sama sekali tidak
menggurui dengan memberitahukan jawabannya secara langsung, tetapi seakan-akan
beliau tidak tahu, dan meminta siswa untuk menjelaskan. Melalui cara ini, saya
dapat menangkap bahwa anak-anak Jepang sangat kaya ide. Pepatah `banyak jalan
menuju Roma` berlaku di sini. Dan Pak Guru sama sekali tidak pernah mengatakan
`salah`, yang dia ucapkan malah kalimat `naruhodo`, yang artinya `Oh, saya baru
tahu ! Kalimat ini menurut saya membangkitkan suatu kebanggaan tersendiri bagi
seorang anak. Suatu pujian yang bisa diartikan `kamu bisa, Nak
!`
Ada 3 prinsip mengajar guru-guru di Jepang, yaitu
1. Tanoshii jugyou (kelas harus menyenangkan)
2. Wakaru ko (anak harus mengerti)
3. dekiru ko (anak harus bisa)
1. Tanoshii jugyou (kelas harus menyenangkan)
2. Wakaru ko (anak harus mengerti)
3. dekiru ko (anak harus bisa)
Melalui model pembelajaran seperti
itu, kita dapat melihat bagaimana anak-anak di Jepang diajari untuk menganalisa
sebuah permasalahan, atau menemukan pemecahannya, tanpa dijejali dengan rumus
itu rumus ini. Mereka baru diajari rumus /teori belakangan, setelah mereka
paham asal-usul sebuah teori, dan bisa menggunakannya di kehidupan sehari-hari.
Mereka juga tidak diajari banyak hal, sedikit saja yang penting mengerti.
Pendekatan
pembelajaran matematika di Jepang
yang
diamanatkan oleh standar isi adalah pemecahan masalah. Hal ini dimaksudkan
untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan
memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan
menafsirkan solusinya.
Pembelajaran matematika di Jepang berdasarkan masalah kontekstual. Hal ini
dapat terlihat dari buku pelajaran matematika di Jepang menggunakan gambar
asli tempat, benda dan hal-hal lain yang memiliki relativitas dengan isi atau
pelajaran yang disajikan dalam buku. Buku pelajarannya berwarna-warni dan
memiliki banyak foto dan gambar.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kurikulum di Jepang memiliki karakteristik pengembangan yang berusaha menyesuaikan kondisi dan pemikiran
1. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kurikulum di Jepang memiliki karakteristik pengembangan yang berusaha menyesuaikan kondisi dan pemikiran
2.
Tujuan
kurikuler dari negara Jepang dalam pendidikan matematika yaitu berusaha untuk memberikan
para siswa dengan berbagai dan beragam pengalaman yang akan meningkatkan kemampuan
mereka untuk berpikir secara logis dan kreatif menggunakan masalah matematika
yang didasarkan pada situasi kehidupan nyata.
3.
Matematika Jepang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk
mencoba menyelesaikan masalah dengan pola pikir
sendiri.
4.
Inti pengajaran matematika di jepang adalah membentuk pola pikir para peserta
didiknya. Pendekatan yang sering dipakai adalah
open ended,problem solving dan discovery.
DAFTAR PUSTAKA
Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology (MEXT)
http://www.mext.go.jp/english/)
http://edukasi.kompasiana.com/2010/03/30/momok-bernama-matematika/
bismillah
BalasHapussaya mau nanya kak,
kebetulan kami mau melakukan penelitian mengenai metode pembeljaran matematika di jepang unruk murid sd tentang kartu matematika yang digunakan ketika awal masuk sekolah di sekolah dasar. untuk itu, apaakah ada data kuantitatif keberhasilan metode kartu matematika di jepng ini sehingga hal tersbut terus saja dipergunakan?